Jumat, 25 Januari 2008

HM SOEHARTO MEMBANGUN CITRA ISLAM

Peluncuran buku “HM Soeharto, Membangun Citra Islam” karya Miftah H. Yusufpati pada 7 Juni 2007 di Wisma Antara Lt. 2 Jakarta meninggalkan catatan penting. Selain memperingati hari ulang tahun Soeharto ke-86, pada malam itu juga dilakukan dialog (bedah buku) yang menghadirkan Dr. dr. Tarmizi Taher (Ketua Umum Dewan Masjid Indonesia), Sulastomo (Ketua Yayasan Amal Bhakti Muslim Pancasila), Dja’far Assegaf (wartawan dan diplomat) dan Prof. Zainuddin Taha (Rektor Universitas Islam Makassar). Penulis mengeleluarkan sinyalemen kemungkinan ada kudeta oleh ICMI.Tidak seperti buku-buku yang sudah terbit sebelumnya —yang lebih banyak bertabur puja-puji terhadap Soeharto—buku ini lebih banyak meninjau dari aspek kesejarahan pergerakan Islam (politik) di Indonesia serta keterlibatan Soeharto. Miftah dalam pidatonya melempar satu pernyatan cukup berani; mungkinkah Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI) telah merancang satu skenario jauh-jauh hari untuk melengserkan Soeharto? “Ini butuh pembuktian sehingga perlu diteliti lebih dalam,” ujar Miftah.Dia tidak sendirian. Prof. Zainuddin Taha juga mempunyai spekulasi yang sama menyangkut masalah ini. “Persoalannya, Pak Harto lengser, ketika sangat dekat dengan Islam dan umat Islam. Kabinet dalam kondisi dipenuhi oleh tokoh ICMI. Tugas para sejarahwan untuk meneliti itu,” kata Rektor Universitas Islam Makasssar ini. Miftah mengatakan Soekarno jatuh tatkala bandul politik diarahkan ke kiri (komunis-red) akan tetapi Pak Harto jatuh, tatkala bandul politik diarahkan agak ke kanan. “Pada saat berkuasa Banyak kalangan menuduh Pak Harto melakukan kudeta terhadap Bung Karno. Wajar saja bila kita juga curiga Pak Habibie melakukan kudeta. Ini yang harus diteliti lebih jauh.” Dia juga mencurigai peristiwa penembakan Trisakti, dilakukannya pembiaran terhadap kerusuhan di Jakarta, pendudukan mahasiswa di gedung DPR/MPR, lalu pernyataan Ketua MPR H. Harmoko agar Pak Harto lengser serta mundurnya menteri-menteri yang sebagian besar dari ICMI, sebagai sesuatu yang direncanakan. “Saya menuntut kejujuran para pelaku dan penulis sejarah,” katanya lagi.Miftah adalah seorang wartawan ekonomi dan sempat bergabung di Harian Ekonomi Neraca selama 15 tahun. Pada 2003 ia memimpin sebuah majalah politik, Majalah DewanRakyat dan pada 2005 menjadi Wakil Pemimpin Redaksi Harian Proaksi. Setelah media yang diikutinya tutup, kini ia lebih memilih untuk menjadi konsultan media dan menulis buku. Ia tengah menyelesaikan satu buku lagi; Soehartois dan Soekarnois. “Doakan bisa segera selesai,” katanya sembari menambahkan bahwa karya itu diharapkan bisa memberikan penghargaan kepada para pemimpin besar bangsa ini.Kendati wartawan ekonomi dan politik, Miftah adalah sarjana dakwah pada Sekolah Tinggi Dakwah dan Publistik Jakarta, sehingga cukup kridible untuk menulis tentang Islam.Editor buku ini, Theo Yusuf dalam pengantarnya menyebut penulis lahir 42 tahun lalu dan sejak mulai melek huruf awalnya hanya mengenal satu presiden yakni Soeharto. Ketika meniti karir di jurnalistik presidennya masih Soeharto. Pada saat itu Miftah adalah wartawan ekonomi yang cukup idealis dan “berani”. Tulisannya tajam dan antimonopoli serta pro ekonomi kerakyatan. Oleh teman-temannya dia berjuluk “terlalu idealis”. Karena saat itu yang berkuasa adalah Orde Baru, maka tentu saja dia banyak “menyinggung” penguasa.Ini perlu diungkap, menurut Theo, untuk memberi gambaran bahwa buku ini ditulis oleh orang yang tidak ada kaitannya dengan Orde Baru, apalagi keluarga besar Cendana. Sikap politik Miftah, menurut Theo, sangat dipengaruhi oleh Muhammadiyah dan Dewan Dakwah Islamiyah (DDI) yang tentu saja juga dipengaruhi budaya Jawa yang mikul nduwur mendem jero. Kini Miftah menjabat sebagai Ketua Hukum dan HAM Muhammadiyah Jakarta Timur. Dan gugatan sejarah oleh Miftah ini sesusungguhnya bisa menjadi diskusi yang menarik. Sayang, saat bedah buku tersebut, masalah ini tidak disinggung. Mungkin; yang lalu, biarlah berlalu.Terlepas dari pada itu, Nur Hakim Kandow panitia serta salah satu eksekutif AsiaMark, penerbit buku ini menyatakan gugatan Miftah wajar adanya dan tidak ada tendensi untuk membela seseorang akan tetapi menghendaki agar sejarah ditulis secara benar..Buku ini, menurut Nur Hakim yang juga Ketua Umum DPP Mahasiswa Pancasila, lebih banyak bicara tentang sosok Soeharto yang Islamis dan pluralis. "Di zaman Pak Harto yang namanya toleransi beragama begitu kental. Kini toleransi agama sudah menjadi barang mahal," kata Nur Hakim yang menyebut buku ini layak dibaca generasi muda.Anggota DPR-RI, Irsyad Sudiro juga menyatakan agar ada keseimbangan dan pelurusan sejarah maka buku ini layak disebarluaskan. "Pak Harto memang ada kelemahan dan kekurangan. Akan tetapi sangat banyak yang bisa dilanjutkan dari program-program Pak Harto dan Orde Baru untuk membangun bangsa ini ke depan," katanya.Irsyad yang saat Pak Harto lengser sebagai Ketua Fraksi Golkar menjelaskan kudeta itu sebenarnya tidak ada. "Justru ketika itu kita berusaha bagaimana agar Pak Harto turun dengan khusnul khotimah, menyusul begitu kuatnya desakan agar beliau mundur," katanya, kepada Koran Kabinet.KH. Dr. dr. Tarmizi Taher dalam dialog publik menyatakan sejarah harus ditulis sebagaimana yang terjadi. Buku ini mencoba menceritakan apa yang sudah terjadi. "Tak bisa dipungkiri bahwa jasa Pak Harto sangat besar terhadap Islam," katanya. "Beliau membangun toleransi beragama sehingga NKRI tetap utuh sampai sekarang," lanjut mantan Menteri Agama zaman Orde Baru ini.Zaenal Abdin, dari Korp Alumni Mahasiswa Islam Indonesia (KAHMI), menganggap HM Soeharto baru melakukan pemihakan kepada Islam pada tahun 90-an dan sebelumnya sangat memusuhi Islam. Akan tetapi Sulastomo, menyangkal hal ini. "Komitmen Pak Harto dengan Islam tak pernah berubah, sejak dulu," kata Ketua Yayasan Amal Bhakti Muslim Pancasila ini.Membicangkan HM Soeharto ternyata mengasyikkan justru ketika penguasa Orde Baru ini sudah uzur di tengah badai yang melanda keluarga besar cendana. Begitulah. (hs)

Tidak ada komentar: