Selasa, 29 Januari 2008

`Mikul dhuwur` untuk `mendhem jero`






MANTAN Presiden Soeharto mengajukan permintaan maaf bila ada kesalahan dan kekurangan selama memimpin bangsa Indonesia. "Atas bantuan dan dukungan rakyat selama saya memimpin negara dan bangsa Indonesia ini saya ucapkan terima kasih dan meminta maaf bila ada kesalahan dan kekurangannya. Semoga Bangsa Indonesia tetap jaya dengan Pancasila dan UUD 45-nya," demikian tulisan tangan Soeharto saat turun dari tampuk kekuasaan 21 Mei 1998.
Tulisan tangan yang berparaf huruf S dan H itu dimuat blog http://yusril.ihzamahendra.com.
Kita kutipkan naskah ini mengingat almarhum Soeharto, mantan presiden RI kedua itu ternyata telah melengkapi jati dirinya sebagai manusia yang tak luput dari salah, apalagi sebagai pemimpin besar di zamannya. Ia meminta maaf dengan tulisan tangan di bawah naskah asli pemberhentiannya sebagai presiden 21 Mei 1998 lalu.
"Naskah asli pengunduran diri itu diserahkan kepada Arsip Nasional untuk disimpan di sana. Semua ini kami lakukan agar dokumen ini jangan sampai hilang seperti Naskah Supersemar tahun 1966. Hanya ada dua copy yang dibuat waktu itu, satu disimpan oleh Almarhum Pak Saadillah Mursyid, dan satunya saya simpan sebagai koleksi pribadi," tulis Yusril, mantan Menhuk HAM.
Terlepas dari tulisan yang bukan rahasia negara, tapi tak pernah dipublikasikan ini maka keadaannya menjadi menarik setelah menyaksikan prosesi pemakaman Pak Harto Senin 28 Januari 2008. Sebab, sejak 4 Januari 2008 dirawat di Rumahsakit Pertamina Pusat Jakarta, kemudian wafat 27 Januari 2008 pukul 13.10 WIB hingga pemakamannya, masyarakat begitu antusias memantau keadaan Pak Harto.
Kalangan Pers nyaris tak kenal lelah memburu beritanya, dan begitu meninggal, tidak saja beritanya menjadi headline semua koran di Indonesia, juga seperti berlomba menurunkan sejarah hidup perjalanan Soeharto hingga berpuluh-puluh halaman dalam sehari. Media massa elektronik malah berjam-jam menayangkan liputan sejak wafat hingga pemakamannya.
Yang lebih menarik justru begitu banyak masyarakat kecil yang datang melawat, dan membaca doa buat Pak Harto. Ini sebuah kata hati yang jelas tentang rasa kasih pada sesama secara tulus karena melawat dan berdoa merupakan amal yang dilakukan tulus tanpa pamrih. Padahal mereka sangat mungkin tidak tahu bahwa Pak Harto menorehkan tulisan tangan permintaan maaf sebagaimana arispnya Yusril Ihza Mahendra, yang ketika itu guru besar ilmu Tata Negara di Universitas Indonesia.
Kita menjadi yakin benar bahwa Pak Harto itu orang besar yang disayang rakyat. Namun yang lebih menggembirakan adalah bangsa ini pandai mikul dhuwur (menghormati dan menghargai orang) dan mendhem jero (memaafkan atau tidak mengusik keburukan orang). Jadi ada pula orang yang tega larane ora tega patine (tega sakitnya tidak tega matinya).
Kita juga tahu Pak Harto pernah mikul dhuwur mendhem jero kepada Bung Karno karena beliau tidak pernah memperkarakan Bung Karno meski dalam keadaan negara yang gawat akibat pemberoktakan PKI, Pak Harto 'mengamannkan' Presiden RI pertama itu dengan caranya. Yang jelas dua putra terbaik bangsa itu punya jiwa kebangsawanan patut kita ambil hikmahnya.
Sebagai mukminin, tiap muslim terdidik dan membudayakan diri memohonkan ampunan bagi semua muslim yang masih hidup maupun yang telah meninggal, terutama justru sehabis sholat. Ini berarti memaafkan pula Pak Harto. Maka untuk mendhem jero pun kita harus ada kepedulian untuk mikul dhuwur (pandai menghormat) karena kita semua pemimpin sekaligus kaum yang terhormat. *
Tanggal : 29 Jan 2008
Sumber : Harian Terbit

Senin, 28 Januari 2008

SOEHARTO PEMIMPIN DUNIA YANG PEDULI RAKYAT KECIL


Ambon, 27/1(ANTARA)- Mohammad Soeharto adalah pemimpin dunia yang kepeduliannya sangat tinggi terhadap nasib rakyat kecil sehingga perlu diteladani, kata mantan Ketua Alummi Penerima Beasiswa Supersemar Universitas Pattimura(Unpatti) Ambon, Ruland Tahapary,SH, Minggu.

"Soeharto saat menjadi Presiden RI mampu menempatkan dirinya sebagai pemimpin dunia yang berhasil mengantarkan Indonesia keluar dari berbagai keterpurukan, termasuk rakyat kecil yang memiliki tingkat intelegensi tinggi, tetapi berasal dari latar belakang keluarga ekonomi kurang mampu," katanya, ketika dikonfirmasi ANTARA, Minggu malam.

Ruland yang saat ini menjadi Ketua Komisi A DPRD Maluku menegaskan, bukan karena dirinya menerima beasiswa Supersemar sehingga memberikan pernyataan ini, tetapi kenyataan memang dirasakan olehnya sebagai anak petani dari Pulau Nusalaut, Kabupaten Maluku Tengah.

Program beasiswa itu telah menelorkan ratusan ribu pejabat di Indonesia saat ini, katanya.

Soeharto mengawali tugasnya menjadi Presiden ketika Indoensia terpuruk dalam berbagai bidang. Namun, dalam kepemimpinan selama 32 tahun yang tidak terlepas dari berbagai kelemahan ternyata mampu mengatasi keterpurukkan ekonomi, SDM dan lainnya sehingga bisa "berbicara" di tingkat dunia.

Ruland mencontohkan, pemberian beasiswa Supersemar yang merupakan "invetasi SDM" sangat bermanfaat.

Uang yang diterima sebanyak Rp7.000-Rp8.000/bulan saat kuliah di Fakultas Hukum Unpatti Ambon sangatlah membantu dirinya untuk membeli buku-buku - menyelesaikan studi hingga menjadi Dosen di alamater tercinta. Bahkan, sempat menjadi pengacara sebelum beralih ke politik.

"Jasa-jasa Soeharto tidak bisa dipungkiri siapa pun warga Indonesia. Dunia pun mengakuinya dan itu pun dibuktikan dengan sejumlah kehormatan yang diberikan untuk memimpin wadah/organisasi Internasional,"tambahnya.

Ruland yang juga mantan Ketua Fraksi Partai Golkar di DPRD Maluku mengenang kesederhaan Soeharto saat dalam kapasitasnya sebagai Ketua Alumni Penerima Beasiswa Supersemar Unpatti Ambon bersama rekan-rekan lainnya dari tanah air diterima Soeharto di Bina Graha.

"Soeharto menyatakan - saya sama dengan kalian. Maksudnya Soeharto mengungkapkan ia berasal dari keluarga tergolong `orang kecil`, anak petani, anak nelayan dan anak guru,"tuturnya mengenang.

Ruland menyerukan bangsa Indonesia untuk memaafkan Soeharto yang telah berjasa mengangkat citra Indonesia seperti dalam swasembada beras, berhasil menjuarai Asean Games dan lainnya.

Senada dengan Ruland, Ketua DPRD Maluku, Richard Louhenapessy,SH, mengakui jasa-jasa Soeharto sebagai pemimpin dunia harus dipertimbangkan pemerintah maupun rakyat Indonesia untuk memaafkannya.

"Pemerintah maupun rakyat Indonesia tidak bisa pungkiri selama Soeharto menjadi Presiden sudah banyak yang dibuat bagi bangsa dan negara sehingga wajar sekiranya jasa-jasanya itu dipertimbangkan untuk memaafkan beliau,"katanya.

Khusus untuk kasus perdata mantan Presiden Soeharto, Richard mengemukakan, itu kewenangan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Kabinetnya untuk memutuskannya.

"Terpenting jasa-jasa dan pengorbananya selama menjadi Presiden tidak mubazir begitu saja dengan kelemahan yang berakibat terjerat kasus perdata,"demikian Richard Louhenapessy. (U.L005/K-JA/ABN1/B/M007) (T.L005/B/M007/M007) 27-01-2008 18:02:52 NNNN

MUI JABAR SERUKAN DOA KHUSUS BAGI SOEHARTO

Bandung, 27/1 (ANTARA)- Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jabar, KH Hafidz Usman di Bandung, Minggu, menyerukan agar segenap umat Islam segera memanjatkan doa khusus, ataupun menggelar shalat ghaib bagi jenazah mantan Presiden Soeharto.

Menurut Hafidz, pihaknya akan segera melakukan konsolidasi, dan koordinasi terhadap seluruh pimpinan ormas Islam serta segenap muspida Jabar lainnya untuk menggelar doa khusus dimaksud.

Dikatakan, sudah selayaknya masyarakat Indonesia di manapun saat ini berada memaafkan berbagai kesalahannya serta memanjatkan do`a khusus bagi keselamatan "perjalanan terkahir" alamarhum Soeharto.

Mengenai penanganan kasus hukum terhadap almarhum Soeharto, menurut Hafidz, ia memandang masalah itu sebaiknya dibicarakan oleh pemerintah dengan pihak-pihak terkait lainnya.

"Sebagai manusia Soeharto memiliki keterkaitan karena berbagai hal yang pernah dilakukannya, sehingga anak cucunya harus menyelesaikan keterkaitan itu. Karena almarhum adalah seorang tokoh bangsa, maka proses penyelesaian keterkaitan itu harus diselesaikan pemerintah atas nama bangsa ini," katanya menjelaskan.

Ia menuturkan, sebaiknya pergelaran doa khusus bagi almarhum dilakukan secara berjamaah oleh semua komponen umat Islam di masjid.

Sementara itu, Ketua PW Nahdlatul Ulama (NU) Jabar saat dihubungi ANTARA, Dedi Wahidi mengatakan, secara pribadi dirinya mengimbau kepada seluruh nahdliyin untuk memanjatkan doa bagi perjalanan terakhir almarhum Soeharto.

"Soeharto itu kan aset nasional, jadi mengenai doa ataupun pergelaran tahlilan khusus bagi almarhum yang dilakukan secara organisasi sepenuhnya masih menunggu keputusan PB NU," katanya menjelaskan.

Segala sesuatunya harus dilakukan secara proporsional, jadi secara institusi pihak kami belum bisa mengomandokan nahdliyin Jabar lebih lanjut karena masih menunggu keputusan pengurus pusat, katanya. (PK-FN/B/M007) (T.PK-FN/B/M007/M007) 27-01-2008 17:54:11

Jumat, 25 Januari 2008

DUGAAN KORUPSI BUPATI SERUYAN DILAPORKAN KE KPK

Lumbung Informasi Rakyat (LIRA) melaporkan dugaan korupsi yang dilakukan Bupati Seruyan, H. Darwan Ali. kepada Komisi Pemberantasan Korupsi. Dalam suratnya tertanggal 18 Juni 2007 LIRA Seruyan, Kalimantan Tengah, meminta KPK segera turun tangan menangani kasus tersebut. Dalam laporannya, LIRA menyertakan bundel data dugaan korupsi sang bupati. Lira menyebutnya ini merupakan dugaan korupsi kelas kakap yang patut segera mendapatkan penanganan semestinya karena data-data yang ada sudah cukup untuk menyeret yang bersangkutan ke pengadilan.Menurut LIRA dugaan korupsi yang dilaporkan itu adalah menyangkut kasus konversi Lahan Terlarang 274.188 ha Kawasan Hutan Produksi Kabupaten Seruyan menjadi Perkebunan Kelapa Sawit. Bupati LIRA – Seruyan, Marianto, HS, dalam laporannya menyertakan alat bukti antara lain daftar Rekapitulasi Kepala Perwakilan Kantor Pertanahan Kabupaten Seruyan tanggal 18 September 2005 mengenai izin lokasi sebanyak 23 buah yang masuk kawasan hutan produksi (HP), Hutan Produksi Terbatas (HPT), Kawasan Pengembangan Produksi (KPP), Kawasan Pemukiman dan Penggunaan Lain (KPPL) Kabupaten Seruyan.Menurut laporan itu, dalam kurun waktu bulan Februari 2004 – akhir tahun 2005, setidak-tidaknya H. Darwan Ali dalam kewenangannya selaku Bupati Seruyan telah mengeluarkan 43 Surat Keputusan untuk kegiatan operasional usaha perkebunan kepada 23 Perusahaan perkebunan di Kabupaten Seruyan.Dalam 43 Surat Keputusan Bupati Seruyan tersebut, H. Darwan Ali telah memberikan persetujuan prinsip usaha kegiatan operasional di lapangan dan menyelesaikan proses HGU pada BPN tanpa adanya ijin/ keputusan Menteri Kehutanan, sebagaimana dimaksud dan diatur Peraturan Pemerintah No. 44 Tahun 2004 tentang perencanaan kehutanan. Setidak-tidaknya ke 23 Perusahaan perkebunan kelapa sawit tersebut telah menggunakan kawasan hutan produksi seluas 274.188 hektare.Dari 23 Perusahaan yang mendapat persetujuan prinsip usaha kegiatan operasional perkebunan kelapa sawit dikawasan hutan produksi, 16 perusahaan diantaranya adalah milik keluarga H. Darwan Ali – Bupati Seruyan. Penerbitan 43 SK. Bupati Seruyan tersebut jelas dan terang melanggar ketentuan Menteri Kehutanan R.I. yang pada pokoknya menyatakan agar Bupati Seruyan tidak memberikan izin kepada 23 Perusahaan perkebunan tersebut untuk melakukan aktivitas dilapangan sebelum ada Keputusan Menteri Kehutanan yang didasarkan atas penelitian terpadu dan tidak melakukan proses pengukuran kadastral/ perolehan hak atas tanah (HGU) dari Badan Pertanahan nasional (BPN) sebelum ada SK pelepasan dari Menteri Kehutanan.Tentang ini bukti yang disampaikan adalah Surat Keputusan Bupati Seruyan No. 147 Tahun 2004 tanggal 23 Desember 2004 tentang pemberian ijin lokasi untuk keperluan pembangunan perkebunan kelapa sawit atas nama PT. Gawi Bahandep Sawit Mekar di Desa Empa, Tanjung Baru, Jahitan dan Muara Dua Kecamatan seruyan Hilir – Kabupaten Seruyan. Dalam Keputusan Bupati Seruyan No. 147 Tahun 2004 tersebut secara jelas dan tegas menyebutkan alamat PT. Gawi Bahandep Sawit Mekar beralamat di Jalan Tidar 1 No. 1 Sampit telp : 0531 – 32262. “Faktanya alamat tersebut adalah alamat tempat tinggal anak dari H. Darwan Ali,” sebut LIRA Seruyan.Tindakan ini juga melanggar Surat Menteri Kehutanan No. S.590/Menhut-VII/2005 tanggal 10 Oktober 2005 tentang kegiatan usaha perkebunan serta Surat Menteri Kehutanan No. S.255/Menhut-II/07 tanggal 13 April 2007 tentang pemanfaatan Areal Kawasan Hutan.Penerbitan 43 SK Bupati Seruyan tersebut jelas dan terang melanggar ketentuan Menteri Kehutanan yang pada pokoknya menyatakan agar Bupati Seruyan tidak memberikan izin kepada 23 Perusahaan perkebunan tersebut untuk melakukan aktivitas di lapangan sebelum ada Keputusan Menteri Kehutanan yang didasarkan atas penelitian terpadu dan tidak melakukan proses pengukuran kadastral/ perolehan hak atas tanah (HGU) dari Badan Pertanahan nasional (BPN) sebelum ada SK pelepasan dari Menteri Kehutanan.Akibat dari penerbitan 43 SK. Bupati Seruyan tersebut setidak-tidaknya menimbulkan kerugian bagi Negara dalam bentuk sebagai berikut: Diduga telah memperkaya diri sendiri, hilangnya potensi penghasilan negara atau daerah dari hasil hutan, merusak ekosistem dan lingkungan, merugikan negara karena negara harus melakukan reboisasi dan penghijauan hutan.Berdasarkan informasi di lapangan, menurut LIRA Seruyan, setidak-tidaknya untuk mendapatkan 1 (satu) ijin lokasi, Pengusaha perkebunan dipungut biaya ± Rp 4.000.000.000,- (empat milyar rupiah). Dengan asumsi nilai pungutan biaya di atas maka setidak-tidaknya didapat hitungan nilai Rp 4.000.000.000 X 23 = Rp 92.000.000.000. Jadi? Menurut LIRA, H. Darwan Ali selaku Bupati Seruyan telah menyalahgunakan kewenangan untuk menguntungkan diri dan dapat merugikan keuangan Negara sebagaimana dimaksud dan diatur Pasal 3 UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 yang menyatakan, “setiap orang yang dengan tujuan mengguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara, dipidana dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp 50.000.000 dan paling banyak Rp 1.000.000.000.Lira Seruyan juga melaporkan tentang kasus yang diduga merugikan negara Rp 1,8 miliar dalam pembelian tambak ikan. Dijelaskan bahwa pada 6 Maret 2004, melalui surat No. 500/60/EK/2004, H. Darwan Ali – Bupati Seruyan meminta persetujuan DPRD Kabupaten Seruyan untuk mendahului anggaran dalam kegiatan pengambil alihan asset PT Bentang Tiara Pratama Prakarsa. Dia mengusulkan nilai pengambil alihan tersebut sebesar Rp 3,5 miliar.Selanjutnya pada 9 Maret 2004 permohonan tersebut disetujui oleh DPRD Kabupaten Seruyan. Di kemudian hari ternyata fakta yang ditemukan asset PT Bentang Tiara Pratama Prakarsa tersebut hanya dibeli sebesar Rp 1,7 miliar. Di sini terdapat selisih nilai yang dianggarkan dengan nilai yang dibayarkan sebesar Rp 1,8 miliar.Kasus tersebut terungkap ke publik karena desakan masyarakat, kemudian H. Darwan ali – Bupati Seruyan melalui suratnya tanggal 27 Juli 2004 memerintahkan pimpinan Bank Pembangunan Kalimantan Tengah cabang Kuala Pembuang supaya mengubah kata “pengembalian ganti rugi” menjadi kata “pembayaran kegiatan penyertaan modal”.APBD Tidak WajarFatalnya lagi, berdasarkan hasil pemeriksaan atas pelaksanaan belanja daerah Pemerintah Kabupaten Seruyan dalam tahun anggaran 2004 – 2005, Badan Pemeriksan Keuangan setidak-tidaknya telah menyatakan bahwa ada dana sebesar Rp 101.945.216.000 dengan kriteria tidak wajar.Beberapa dari dana pengeluaran Pemerintah Kabupaten Seruyan yang sepatutnya dilakukan penyelidikan lebih lanjut berdasar hasil temuan BPK adalah sebagai berikut: 1. Pengeluaran biaya penginapan tamu pada pos belanja administrasi umum Sekretariat Daerah sebesar Rp 202,7 juta yang ditemukan fiktif.2. Realisasi biaya operasional Muspida Rp 350 juta tidak didukung bukti pengeluaran yang memadai. 3. Belanja bantuan dana pembinaan partai Politik Tahun anggaran 2005 sebesar Rp 296,5 juta tidak didukung bukti tanda terima penerima dana.4. Belanja dana bantuan Pemilu Rp. 1 miliar tidak didukung bukti tanda terima pembayaran.5. Belanja rutin Sekretariat Daerah Tahun anggaran 2004, Rp. 4,5 miliar kurang dipertanggung jawabkan.6. Pembayaran honorarium, uang lembur, insentif dan tunjangan di lingkungan unit kerja Sekretariat Daerah Rp 4,3 miliar tidak didukung bukti tanda terima penerima dana.7. Realisasi belanja peringatan HUT ke–3 Kabupaten Seruyan, Rp 400 juta, tidak sesuai dengan ketentuan dan tidak didukung bukti yang memadai.8. Belanja rutin dan administrasi umum sekratariat daerah Kabupaten Seruyan, Rp 3,8 miliar, tidak didukung bukti memadai.9. Realisasi belanja bantuan panitia STQ XV tingkat propinsi Kalimantan Tengah Rp 2,7 miliar, tidak sesuai dengan ketentuan dan tidak didukung bukti yang memadai.Berdasarkan uraian di atas maka sudah sepatutnya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menindaklanjuti laporan ini dalam waktu yang tidak terlalu lama mengingat dengan kapasitasnya selaku Bupati, H. Darwan Ali bisa menghilangkan bukti-bukti yang mendukung laporan ini. Laporan LIRA Seruyan ke KPK tersebut ditembuskan kepada presiden, Wapres, Komisi III DPR – RI, Komisi IV DPR – RI, Jaksa Agung, Jaksa Agung Muda bidang Pidana Kejaksaan Tinggi Kalimantan Tengah, Kejaksaan Negeri Sampit, Kapolrli Kabagreskrim Mabes Polri., Kapolda Kalimantan Tengah, Kapolres Seruyan, Komisi Hukum Nasional, Komisi Ombusdman Nasional, Komisi Kepolisan Nasional (Kompolnas), Menteri Dalam Negeri serta Irjen Depdagri dan Dirjen OTDA – Depdagri. Di samping juga kepada Menteri Kehutanan, Dirjen PHKA – Departemen Kehutanan RI, Gubernur Kalimantan Tengah, Ketua DPRD Tingkat I Kalimantan Tengah, Ketua DPRD Tingkat II Kabupaten Seruyan.***

SOEHARTO MEMBANGUN ATAU MERUSAK CITRA ISLAM OLEH UMAR SAID

Berikut adalah catatan Umar Said dalam menanggapi buku "HAM SOEHARTO MEMBANGUN CITRA ISLAM"

Catatan A. Umar Said : HM Suharto membangun atau merusak citra Islam?

Hari ulang tahun mantan presiden Suharto yang ke-86, yang jatuh pada tanggal 8 Juni 2007, telah dirayakan di rumahnya di jalan Cendana, Jakarta, dengan cara-cara yang tidak seramai atau semeriah tahun-tahun sebelumnya. Walaupun ada mantan-mantan pejabat tinggi yang berdatangan, tetapi jumlahnya tidak sebanyak yang sudah-sudah. Tetapi karangan-karangan bunga masih banyak yang diterima.Dalam rangka peringatan hari ulang tahun Suharto ke-86 ini, yang patut mendapat perhatian dari kita semua adalah diterbitkannya buku yang berjudul "HM Suharto membangun citra Islam". Menurut berita Antara (8/7/07) dalam peluncuran buku tersebut, selain AM Fatwa, juga tampak hadir pejabat tinggi di masa kepemimpinan Soeharto, yaitu mantan menteri agama Tarmizi Taher.. Buku yang ditulis oleh Miftah H Yusufpati ini secara resmi diluncurkan sehari sebelum peringatan ulang tahun Suharto. Menurut Miftah : « Banyak perjuangan yang sudah dilakukan Soeharto terhadap Islam. Pak Harto terbukti telah menegakkan prinsip-prinsip ajaran Islam dan memperjuangkan toleransi beragama »Ketika membaca judul yang berbunyi « HM Suharto membangun citra Islam » dan kalimat bahwa « Pak Harto terbukti telah menegakkan prinsip-prinsip ajaran Islam » maka mungkin saja di antara kita ada yang tercengang, atau mungkin juga ada yang tertawa terkekeh-kekeh, atau, ada pula yang jengkel dan marah-marah. Sebab, mungkin saja, ada orang yang menganggapnya sebagai lelucon, atau sebagai bualan alias omong-kosong, atau bahkan sebagai hinaan yang amat besar kepada Islam.Dalam kaitan ini, tulisan ini mengajak para pembaca untuk merenungkan secara dalam-dalam apakah sebutan « HM Suharto membangun citra Islam » itu memang mengandung kebenaran, dan apakah sebutan itu akan mengangkat Islam, ataukah sebaliknya, malahan memperburuk atau merusak citra Islam. Sebab, terbitnya buku dengan judul yang demikian itu untuk memperingati hari ulangtahun Suharto mencerminkan bahwa di kalangan sebagian golongan Islam memang terdapat anggapan bahwa Suharto adalah tokoh pembangun citra Islam dan "penegak prinsip-prinsip ajaran Islam". Hal yang demikian ini adalah sangat serius sekali. Dan menyesatkan sekali ! Oleh karena itu, alangkah baiknya, kalau masalah ini dibicarakan dan ditelaah dengan teliti oleh para tokoh agama Islam di Indonesia, dan dijadikan bahan studi atau riset di universitas-universitas dan lembaga-lembaga ilmiah Islam. Singkatnya, masalah ini perlu sekali menjadi kajian secara luas oleh ummat Islam di Indonesia.Sebab, masalah apakah Suharto telah « membangun citra Islam » atau malahan merusak citra Islam, adalah masalah penting yang bisa dipakai untuk menilai berbagai politik rejim militer Orde Baru, dan juga untuk menelaah sikap berbagai golongan Islam terhadap Suharto dan Orde Baru. Sikap berbagai golongan Islam terhadap Suharto dan Orde Baru adalah satu hal yang mempunyai pengaruh penting dalam persoalan politik dan sosial di negara kita, yang buntutnya masih sama-sama kita saksikan sampai sekarang ini. Sebagai bahan-bahan untuk renungan bersama, maka di bawah berikut ini disajikan sejumlah pandangan mengenai masalah tersebut, yang dicoba dilihat dari berbagai sudut pandang :Apakah untuk melaksanakan ajaran-ajaran Islam ?Suharto memang pernah memberikan bantuan kepada sejumlah pesantren, memberikan sumbangan untuk membangun mesjid-mesjid, dan memberikan dana kepada sejumlah kyai-kyai dan para pemuka agama Islam. Suharto juga sering memberikan sedekah kepada anak-anak yatim piatu, atau memberi beasiswa kepada pelajar-pelajar.Tetapi, perlulah sama-sama kita renungkan dalam-dalam, apakah itu semua telah dilakukan Suharto oleh karena memang ingin melaksanakan ajaran-ajaran Islam dengan sungguh-sungguh dan secara tulus, ataukah karena sebab-sebab dan pertimbangan lainnya. Selama pemerintahan rejim militer Orde Baru, memang Suharto berusaha merangkul, menina-bobokkan, merekayasa, menggunakan, mensalahgunakan, bahkan menipu atau menjerumuskan sebagian golongan IslamSejauh mana atau sebesar apa, dan juga bagaimana saja cara-caranya Suharto telah "merangkul" dan "menggunakan" sebagian golongan Islam ini, barangkali berbagai kalangan Islam sendiri dapat menganalisanya atau menelitinya berdasarkan pengalaman-pengalaman pahit mereka masing-masing. Yang sudah jelas yalah adanya kebutuhan atau keharusan bagi Suharto (artinya rejim militer Orde Baru) untuk "merangkul" sebanyak mungkin golongan Islam, demi kelanggengan diktatur militernya, dan untuk melawan lawan-lawan politiknya.Merangkul golongan Islam untuk bersekutu dengan ASSeperti kita ketahui, stabilitas politik dan sosial telah dapat diciptakan rejim militer Orde Baru, dengan menggunakan tangan besi atau berbagai praktek otoriter, di samping merangkul, membujuk, menyiasati sebagian terbesar golongan Islam. Ada yang mengatakan bahwa Orde Baru telah berhasil « membeli » berbagai golongan Islam, dan menjadikan mereka sebagai pendukung berbagai politik rejim militer Suharto, yang dalam jangka lama adalah pro-Barat dan mengabdi kepada kepentingan politik AS. Dengan « merangkul » sebagian golongan Islam, Suharto dkk telah berhasil menjadikannya sebagai sekutu dan sekaligus "tunggangan" untuk menghancur-leburkan kekuatan politik Bung Karno beserta pendukung-pendukungnya yang terdiri dari golongan kiri (antara lain PKI), yang melawan kekuatan-kekuatan nekolim (neo-kolonialisme dan imperialisme). Untuk lebih jelas lagi : pada masa-masa yang panjang selama Orde Baru, sebagian golongan Islam telah berhasil dibawa atau digiring oleh Suharto untuk memihak nekolim (baca : AS) dalam menghancurkan kekuatan anti-imperialis yang digalang Bung Karno beserta pendukung-pendukungnya. Kalau dilihat dengan kaca-mata sekarang, dengan apa yang terjadi di Timur Tengah dan peran AS dalam berbagai masalah internasional dewasa ini (antara lain : masalah Israel-Palestina, masalah perang Irak, ancaman terhadap Iran) maka kelihatanlah dengan jelas bahwa Suharto dkk pada akhirnya -- atau pada dasarnya -- telah membawa golongan Islam di Indonesia pada jalan yang salah. Dengan kalimat lain, bisalah kiranya dikatakan bahwa Suharto bukanlah "pembangun citra Islam" yang baik.Golongan Islam yang paling banyak dirugikanSuharto telah melakukan penindasan besar-besaran , dan dalam jangka waktu yang lama pula, terhadap sebagian terbesar rakyat Indonesia, yang agamanya Islam. Memang, penindasan ini juga dilakukan terhadap semua golongan dalam masyarakat Indonesia. Tetapi yang diberangus suaranya, atau yang dirugikan kepentingannya, terutama adalah dari kalangan Islam. Ketika terjadi pelanggaran HAM secara besar-besaran (ingat: peristiwa pembunuhan tahun 65-66, peristiwa Lampung, peristiwa Tanjung Priok, peristiwa di Madura, peristiwa Trisakti, peristiwa Semanggi) bukanlah hanya orang-orang kiri yang menjadi korban, melainkan sebagian terbesar juga orang-orang yang beragama Islam. Dalam kaitan ini perlu diketahui oleh banyak orang (terutama oleh para pendukung Suharto) bahwa banyak sekali (untuk tidak mengatakan sebagian terbesar) di antara orang-orang yang ditahan selama puluhan tahun di penjara-penjara dan dibuang di Pulau Buru adalah orang-orang Muslim, yang rajin sembahyang, bahkan mungkin melebihi apa yang dikerjakan Suharto beserta anak-anaknya. Pertanggunganjawab Suharto atas kedholiman terhadap ratusan ribu orang-orang Muslim yang ditahan atau jutaan yang dibunuhi secara ganas dan sewenang-wenang adalah besar sekali. Karena itu amat tidak patutlah kiranya untuk menempelkan embel-embel merek "pembangun citra Islam" atau "penegak ajaran-ajaran Islam" kepada namanya, Haji Mohamad Suharto.Ketika Suharto (beserta anak-anaknya) menjadi maling-maling terbesar dalam sejarah Republik Indonesia, maka sebenarnya (atau pada hakekatnya) harta yang ditumpukkannya secara haram adalah milik rakyat, yang sebagian terbesar beragama Islam pula. Karena jumlah harta haram yang sudah dirampoknya dari rakyat dan negara adalah amat luar biasa besarnya (baca majalah Times 24 Mei 1999 dan tulisan George Aditjondro), maka dosanya terhadap ummat Islam di Indonesia juga amat luar biasa besarnya!Kalau menurut ajaran Islam tangan seorang pencuri bisa dipotong, maka hukuman apakah yang sepantasnya dijatuhkan kepada Suharto, yang sudah mencuri harta milik sebegitu banyak rakyat Indonesia ? Apakah segala perbuatannya yang begitu serakah dan begitu haram itu bisa dikategorikan sebagai "menegakkan prinsip-prinsip ajaran-ajaran Islam"?Dosanya lebih besar dari pada "amal"-nyaSuharto memang sudah memberikan dana kepada sejumlah pesantren, kepada berbagai organisasi (atau partai-partai) Islam, atau badan-badan sosial-ekonomi-kebudayaan Islam. Tetapi, mengingat bahwa uang yang sudah dicuri Suharto adalah begitu besarnya, maka dosanya adalah barangkali jutaan kali jauh lebih besar dari pada "amal"nya.Dan, apalagi, kalau kita ingat bahwa Suharto -- bagaimana pun juga! -- harus bertanggungjawab atas dibunuhnya sekitar 3 juta orang tidak bersalah yang dituduh atau dicap Komunis (padahal ternyata kemudian bahwa sebagian terbesar di antara mereka adalah orang-orang Muslim juga !!!), maka sulit sekali untuk menganggap bahwa Suharto adalah orang yang "membangun citra Islam" dan "menegakkan prinsip-prinsip ajaran Islam".Haji Mohammad Suharto, yang mempunyai tanggungjawab besar sekali terhadap terjadinya banyak pelanggaran HAM yang serius, yang menyebabkan ratusan ribu eks-tapol (yang sebagian besar terdiri orang-orang Muslim juga) sampai sekarang terlunta-lunta hidupnya, yang membikin macam-macam penderitaan berlarut-larut terhadap puluhan juta keluarga korban peristiwa 65 (juga sampai sekarang), sama sekali tidaklah pantas disebut "Pembangun citra Islam".Sebab, kalau Haji Mohamad Suharto tetap terus disanjung-sanjung oleh sebagian kalangan Islam sebagai "pembangun citra Islam" atau "penegak prinsip-prinsip ajaran Islam" maka orang dapat mengartikan bahwa Islam adalah agama yang kejam dan tidak berperikemanusiaan. Atau, bahwa korupsi atau pengumpulan uang haram adalah citra Islam, atau bahwa Islam membolehkan segala macam praktek-praktek nista yang sudah banyak dilakukan oleh Suharto beserta keluarganya selama ini.Suharto adalah perusak citra IslamDan lagi, karena Suharto sudah terkenal di Indonesia (dan juga di kalangan internasional) sebagai koruptor kaliber raksasa, yang jarang tandingannya di dunia, maka penamaan "Suharto pembangun citra Islam" adalah penamaan yang sungguh-sungguh merugikan sekali citra Islam. Karena, dengan begitu bisa saja diartikan bahwa citra koruptor besar adalah citra Islam. Jadi, kiranya, julukan yang paling tepat baginya justru adalah "Suharto perusak citra Islam".Di samping itu semuanya, kita bisa bersama-sama menilai apakah cara hidup dan kegiatan sehari-hari Suharto beserta keluarganya (antara lain : Tutut, Bambang, Sigit dan Tommy) di kompleks Cendana patut dinamakan "membangun citra Islam" dan "menegakkan prinsip-prinsip ajaran Islam ». Ketika sebagian terbesar rakyat Indonesia (yang kebanyakan terdiri dari orang-orang yang beragama Islam !!!) menderita sekali karena kemiskinan dan berbagai macam kesulitan atau kesusahan, Suharto dan keluarganya hidup mewah sekali dan foya-foya dengan uang najis yang diperolehnya dengan cara-cara haram. Sekarang makin banyak bukti-bukti bahwa Suharto adalah sampah bangsa, karena kejahatannya yang banyak dan besar-besar di bidang korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) dan bidang HAM. Juga makin jelaslah bahwa Suharto adalah pengkhianat besar terhadap Bung Karno dan terhadap Republik Indonesia (ingat, antara lain Supersemar, dan pelecehan Pancasila). Jadi, kalau ada orang-orang dari golongan Islam yang masih tetap bersikukuh menjunjung tinggi Suharto dengan mengatakan bahwa ia adalah "pembangun citra Islam" walaupun mereka sudah mengetahui segala dosa dan aibnya (akibat berbagai kejahatannya di bidang politik, ekonomi, sosial, moral dan agama), maka bisalah dikatakan bahwa orang-orang yang demikian adalah orang-orang yang sesat imannya. Jelasnya, orang-orang semacam itu pada hakekatnya juga ikut merusak citra Islam !!!Paris, 12 Juni 2007.Tulisan ini juga disajikan dalam website http://perso.club-internet.fr/kontak)

TANGGAPAN TULISAN UMAR SAID SOAL HM SOEHARTO

Tanggapan HM Soeharto Membangun Citra Islam atau Merusak Citra IslamBuku yang saya tulis “HM Soeharto, Membangun Citra Islam” mendapat tanggapan khusus A. Umar Said tanpa merasa perlu membaca buku tersebut, padahal saya sangat berharap Tuan Umar membaca dulu baru berkomentar agar tanggapan yang diberikan menjadi jernih dan layak dikonsumsi untuk kemaslahatan orang banyak. Buku tersebut diluncurkan menjelang hari ulang tahun mantan presiden Soeharto yang ke-86, yang jatuh pada tanggal 8 Juni 2007 dan Tuan Umar mengomentarinya pada 12 Juni 2007 setelah membaca berita dari Kantor Berita Nasional Antara. Saya mencoba menunggu komentar lain dari kalangan netter karena Tuan Umar telah mengirim tulisannya tersebut ke sejumlah mailing list dan blog. Akan tetapi tanggapan lain yang saya tunggu tak juga muncul kecuali hanya beberapa, itupun tak begitu penting karena hanya memberikan suport kepada Tuan Umar dengan slogan ”salam kiri”. Saya ingin menanggapi tulisan Tuan Umar dengan pertimbangan agar para pembaca juga mengetahui pendapat saya tentang apa yang sudah ditulis Tuan Umar tersebut. Saya juga tidak bisa menutup mata atau merasa cuek dengan tanggapan yang begitu serius dari Tuan Umar. Tuan Umar menulis bahwa judul ”HM Soeharto Membangun Citra Islam” sebagai menyesatkan. Ia mengutip pernyataan saya yang dimuat Antara bahwa ”Banyak perjuangan yang sudah dilakukan Soeharto terhadap Islam. Pak Harto terbukti telah menegakkan prinsip-prinsip ajaran Islam dan memperjuangkan toleransi beragama.”Lalu Tuan Umar beropini; ”Mungkin saja di antara kita ada yang tercengang, atau mungkin juga ada yang tertawa terkekeh-kekeh, atau, ada pula yang jengkel dan marah-marah. Sebab, mungkin saja, ada orang yang menganggapnya sebagai lelucon, atau sebagai bualan alias omong-kosong, atau bahkan sebagai hinaan yang amat besar kepada Islam.”Saya baca berkali-kali kalimat tersebut; sangat terasa menghinakan, pernyataan tendensius dan apriori, tapi biarlah. Tuan Umar boleh beropini apa saja. Mungkin juga karena Tuan Umar jarang ke Indonesia dan terhanyut oleh provokasi kalangan pendendam Soeharto atau boleh jadi Tuan Umar adalah bagian dari para pendendam itu sehingga menganggap rakyat Indonesia ini sebagai sosok-sosok pembenci Soeharto sehingga perlu tertawa terkekeh-kekeh karena menganggap judul buku dan pernyataan saya sebagai lelucon, bualan atau omong kosong. Akan tetapi begitu membaca tentang cv Tuan Umar serta beberapa tulisannya dalam situs pribadinya saya jadi maklum. Sebagaimana dikatakan KH. Dr. dr. Tarmizi Taher dalam bedah buku dimaksud saat mengomentari bahwa AM Fatwa memaaafkan Soeharto; ”Hanya orang-orang PKI yang tidak memaafkan Soeharto.” Lalu, saya pun mencoba menerka mungkin Tuan Umar adalah bagian dari tokoh yang disebut Tarmizi tersebut. Selanjutnya mari kita baca ulang tulisan Tuan Umar. Ia mengajak para pembaca untuk merenungkan secara dalam-dalam apakah sebutan ”HM Soeharto membangun citra Islam” itu memang mengandung kebenaran, dan apakah sebutan itu akan mengangkat Islam, ataukah sebaliknya, malahan memperburuk atau merusak citra Islam. Sebab, terbitnya buku dengan judul yang demikian itu untuk memperingati hari ulangtahun Soeharto (Umar menulisnya Suharto-- sesuai EYD, katanya) mencerminkan bahwa di kalangan sebagian golongan Islam memang terdapat anggapan bahwa Soeharto adalah tokoh pembangun citra Islam dan “penegak prinsip-prinsip ajaran Islam”. Hal yang demikian ini adalah sangat serius sekali. Dan menyesatkan sekali!”Oleh karena itu, alangkah baiknya, kalau masalah ini dibicarakan dan ditelaah dengan teliti oleh para tokoh agama Islam di Indonesia, dan dijadikan bahan studi atau riset di universitas-universitas dan lembaga-lembaga ilmiah Islam. Singkatnya, masalah ini perlu sekali menjadi kajian secara luas oleh ummat Islam di Indonesia. Sebab, masalah apakah Soeharto telah ”membangun citra Islam” atau malahan merusak citra Islam, adalah masalah penting yang bisa dipakai untuk menilai berbagai politik rejim militer Orde Baru, dan juga untuk menelaah sikap berbagai golongan Islam terhadap Soeharto dan Orde Baru. Sikap berbagai golongan Islam terhadap Soeharto dan Orde Baru adalah satu hal yang mempunyai pengaruh penting dalam persoalan politik dan sosial di negara kita, yang buntutnya masih sama-sama kita saksikan sampai sekarang ini.”Sungguh, saya sepakat bahwa judul itu serius untuk direnungkan. Akan tetapi kalau judul itu dianggap menyesatkan tentulah kesimpulan yang terlalu dini, tanpa melalui analisa yang matang. Ini juga sangat berlebihan, bombastis—lebih sebagai pernyataan yang dilandasi sikap apriori dari sosok pendendam. Tuan Umar menggambarkan dirinya seakan-akan sangat peduli dengan Islam (semoga saja seperti itu) dan bukan sedang menghasut umat Islam untuk ikut-ikutan menghujat Soeharto. Teknik yang cukup cerdas dan matang sebagai seorang aktivis pergerakan ”kiri”. Sayangnya, tulisan-tulisan Tuan Umar adalah hujatan yang tak berkesudahan; suatu sikap yang jauh dari nilai-nilai Islam. Nama Umar diambil dari nama salah seorang khulafaurrasyidin yang memberikan penegasan bahwa Umar seorang muslim. Itu sebabnya saya berharap sedang berdialog dengan sesama muslim, sehingga saya patut menanggapi apa yang ditulis Umar tersebut. Dan saya tidak ingin mempertanyakan kadar keislaman Umar, sebab bukankah itu urusan Allah semata. Sebagaimana saya juga tidak perlu mempertanyakan kadar keislaman Soeharto. Tuan Umar selanjutnya menulis; ”Soeharto memang pernah memberikan bantuan kepada sejumlah pesantren, memberikan sumbangan untuk membangun mesjid-mesjid, dan memberikan dana kepada sejumlah kyai-kyai dan para pemuka agama Islam. Soeharto juga sering memberikan sedekah kepada anak-anak yatim piatu, atau memberi beasiswa kepada pelajar-pelajar. Tetapi, perlulah sama-sama kita renungkan dalam-dalam, apakah itu semua telah dilakukan Suharto oleh karena memang ingin melaksanakan ajaran-ajaran Islam dengan sungguh-sungguh dan secara tulus, ataukah karena sebab-sebab dan pertimbangan lainnya. Selama pemerintahan rejim militer Orde Baru, memang Soeharto berusaha merangkul, menina-bobokkan, merekayasa, menggunakan, mensalahgunakan, bahkan menipu atau menjerumuskan sebagian golongan Islam.”Sejauh mana atau sebesar apa, dan juga bagaimana saja cara-caranya Soeharto telah “merangkul” dan “menggunakan” sebagian golongan Islam ini, barangkali berbagai kalangan Islam sendiri dapat menganalisanya atau menelitinya berdasarkan pengalaman-pengalaman pahit mereka masing-masing. Yang sudah jelas yalah adanya kebutuhan atau keharusan bagi Soeharto (artinya rejim militer Orde Baru) untuk “merangkul” sebanyak mungkin golongan Islam, demi kelanggengan diktatur militernya, dan untuk melawan lawan-lawan politiknya.Pandangan Tuan Umar begitu tendensius, penuh fitnah dan menghasut dengan kelincahan goresan penanya tanpa data yang memadai. Kendati demikian, analisa seperti itu layak dikomentari. Menurut hemat saya, dalam kadar tertentu, tak ada salahnya menilai secara obyektif motivasi Soeharto menjalankan nilai-nilai Islam seperti itu. Lagi pula, Tuan Umar juga tidak sendirian dalam menilai ritual keagamaan Soeharto sebagai memiliki dimensi politis di samping tentu saja tak sedikit pula yang menilai secara obyektif, tak membabi buta seperti itu. Donnald Emmerson, misalnya, menilai tidak semua aktivitas ritual Soeharto sebagai siasat politik melulu. Apalagi bila dihubungkan bahwa Soeharto pernah mengenyam pendidikan di Muhammadiyah. Dan lebih penting lagi adalah keputusan Soeharto untuk mengambil KH Qosim Nurzeha, seorang da’i dari Bintal Angkatakan Darat, sebagai pembimbing kehidupan keagamaan Soeharto dan keluarganya.Peranan KH Qosim Nurzeha dalam melakukan “Islamisasi” keluarga Presiden Soeharto hampir menjadi persepsi umum terutama dikumandangkannya tahlil berkali-kali pada prosesi pemakanan Ibu Tien Soeharto pada 1996 yang jelas menampakkan kultur Islam. Mengenai semakin meningkatnya penghayatan keagamaan Pak Harto, Ketua MUI, KH Hasan Basri mengatakan: “Sebagai orang Jawa, saya lihat nilai-nilai spiritualnya sangat dominan. Mungkin pengaruh pendidikan beliau yang sejak kecil sekolah Muhammadiyah. Sedangkan di rumah, ia belajar agama dengan gurunya, KH Qosim Nurzeha. Dan perubahan baru yang saya lihat justru setelah beliau pulang ibadah haji dengan membawa nama baru... Sejak itu keberagamaan Presiden lebih intens, imannya tambah kuat. Sekarang segala kebijakan yang diambilnya dikembalikan pada nilai-nilai agama. Pola pikir beliau tidak hanya berdasarkan akal semata.” Pendapat KH Hasan Basri patut dijadikan rujukan karena selain beliau dekat dengan Soeharto, sebagai ulama, pendapatnya tentu tulus dan jujur. Tapi bila Tuan Umar juga memasukkan kiai yang sangat terhormat itu ke dalam golongan tokoh Islam yang ”dibeli” maka patut dipertanyakan tentang kejiwaan Tuan Umar. Saat Soeharto mengakomodasikan kepentingan umat Islam, sampai kemudian berdirinya ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia) juga muncul tafsir bermacam-macam dari kalangan umat Islam sendiri. Sebagaimana ditulis Tuan Umar tadi, maka sebagian kalangan juga ada yang menganggap sikap presiden pada waktu itu sebagai bagian untuk mencari sandaran politik baru pasca renggangnya hubungan dirinya dengan ABRI terutama dengan LB Moerdani. Mengomentari pendapat seperti itu Dr. Imaduddin Abdurrahim menyatakan: “Kini yang terjadi bukan hanya sebuah upaya presiden untuk mengamankan dukungan sehingga bisa meredam pesaing-pesaingnya di militer. Tentu saja, terdapat ukuran-ukuran politik seperti itu, namun saya tak terlalu sinis. Saya kira Presiden Soeharto mempunyai mata dan ia menyadari bahwa 90% rakyatnya adalah muslim dan mereka harus diberikan peran dalam kehidupan nasional. Ini sebuah awal yang murni. Untuk pertama kali dalam 27 tahun kami diajak dalam kehidupan poltik negeri ini, dan kami harus mengambil keuntungan darinya. Kenyataan ini mungkin tak memuaskan harapan semua orang, namun sebuah kesempatan nyata.”Imadudin Abdurahim adalah intelektual muslim yang bukan termasuk penikmat jabatan di zaman Orde Baru sehingga pendapatnya menjadi sangat penting untuk dikutip. Tokoh lainnya, yakni Prof. Dr. Ismail Sunny menyatakan, “Tak perlu terlalu menyederhanakan motivasi Presiden. Presiden menyadari bahwa bila terdapat kelompok besar yang menentangnya, hal itu tak baik bagi kepentingan sendiri. Maka, tidak, ini bukan taktik sesaat di pihaknya, karena ia menaruh perhatian tak hanya pada pemilu tetapi juga dengan proses Islamisasi yang bakal memberikan pengaruh jangka panjang pada masyarakat Indonesia.” Sebagai catatan, Ismail Sunny adalah Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Indonesia, yang punya pengalaman tidak menyenangkan saat berpolitik di zaman Orde Baru. Apakah Tuan Umar juga ingin mengatakan intelektual Islam sekaliber Imaduddin dan Ismail Sunny juga ”dibeli” Soeharto?Selanjutnya, Tuan Umar mungkin merasa kurang pas dengan pendapat para tokoh tersebut. Okelah, saya mencoba menerima pendapat Tuan Umar, andaikata tindakan Soeharto mengadobsi kepentingan Islam dan umat Islam itu berdimensi politik sekalipun sesungguhnya siapa yang diuntungkan dan siapa yang dirugikan? Ataukah Tuan Umar menghendaki agar Soeharto tidak perlu melakukan itu dan menindas saja umat Islam supaya apa yang dipersepsikan Tuan tentang Soeharto menjadi kenyataan? ”Soeharto sebagai musuh umat Islam atau merusak citra Islam?” Tuan Umar menulis; ”(Soeharto) Merangkul golongan Islam untuk bersekutu dengan AS.” Ah, Tuan Umar memfitnah lagi. Dan lagi-lagi, Tuan Umar tidak menunjukkan data yang kongkrit tentang persekutuan itu sehingga kita juga sulit menilai apakah persekutuan dimaksud merugikan umat Islam atau menguntungkan? Atau mungkin, Tuan Umar menganggap bersekutu dengan AS dalam bentuk apa pun sebagai tindakan haram, sebagaimana dikatakan pula oleh Osama bin Ladin.Tentang apa yang disebut dengan ”persekutuan” dengan AS (baca Barat) hendaknya kita perlu berpikir jernih, tidak hantam kromo. Posisi ini pula yang telah diambil oleh Soeharto dan Orde Baru; bergaul dengan Barat dilakukan tanpa mengimpor secara mentah-mentah faham Barat, apalagi membebek dan mengabdi pada mereka. Satu pergaulan yang win win solution. Membenci Barat tak akan menyelesaikan masalah. Kita juga tahu bahwa benturan kepentingan yang berlangsung ratusan tahun antara Islam, Kristen dan Barat telah menimbulkan reaksi umat Islam yang cukup beragam. Barat mengusung berbagai ideologi yang sedikit banyak mempengaruhi pola berpikir dan bertindak umat Islam. Di antara ideologi yang diusung oleh Barat adalah ide sekularisasi dan kapitalisme. Selain itu, keberagaman respon juga dipengaruhi oleh situasi lokal, kultur dan faham keagamaan. Secara kategoris, bentuk respon umat Islam tersebut terbagi ke dalam tiga kategori utama.Pertama, sebagian kalangan menerima ide sekularisasi Barat tanpa ada reserve. Respon ini diperlihatkan terutama oleh gerakan Mustafa Kamal Attaturk ketika melakukan sekularisasi di Turki. Mustafa Kamal berhasil menghapus sistem kekhalifahan Islam yang terakhir. Sekularisasi yang dilakukan Mustafa juga berhasil mengubah praktik keberagamaan, misalnya praktik azan yang dibaca dengan bahasa Arab diubah dengan bahasa Turki.Kedua, sebagian kalangan lagi ada yang mengambil sekularisasi tetapi dengan batasan dan berbagai revisi. Respon ini diperlihatkan dalam pembentukan negara-negara Muslim yang dibangun dengan kerangka demokrasi, seperti pembentukan Republik Indonesia dan pembentukan negara Malaysia. Format kedua negara ini sebenarnya dibangun atas ideologi nasionalis, namun tetap mengupayakan okomodasi nilai-nilai religius dan kultur setempat. Hanya saja sedikit perbedaan, Malaysia menempatkan Islam sebagai agama resmi negara, tetapi Indonesia memposisikan Islam sebagai agama yang dilindungi negara. Meskipun Islam dijadikan agama resmi negara, akan tetapi Malaysia tetap menggunakan konstitusi sekuler (artinya tidak menempatkan Al-Qur’an dan Hadist sebagai konstitusi formal, sebagaimana layaknya negara Islam yang memposisikan al-Qur’an han Hadist sebagai konstitusi tertinggi). Ketiga, kelompok yang menolak segala bentuk modernitas yang berasal dari Barat, lebih khusus lagi sekulerisme. Respon ini dapat dilihat dalam format pembentukan negara Pakistan dan sejumlah negara Arab yang kemudian diteruskan Iran ketika dipimpin Khomeini. Pilihan ini, selain mendasarkan pendiriannya pada perkembangan rasional politik, mereka sebenarnya tengah melakukan ijtihad untuk tetap dapat survive dalam menghadapi perubahan zaman. Namun demikian sejarah membuktikan dari ketiga respon tersebut, hanya umat Islam yang moderat saja yang dapat dianggap bertahan, paling ideal dan paling mempunyai masa depan cerah.Latar pemikiran muslim moderat itu berbeda sebagaimana respon yang pertama. Kelompok yang menerima secara total ide sekularisasi Barat ternyata telah membawa pada situasi yang mengisolasikan diri dalam siklus teologi Islam dan tradisinya. Kebijakan yang dilakukan oleh Mustafa telah membawa pada situasi yang tidak kondusif. Karena kebijakan radikal yang dilakukan Mustafa telah menimbulkan benturan yang sangat dahsyat, antara kebijakan strukturalnya dengan kultural dan tradisi Islam yang telah lama hidup dalam tradisi keagamaan umat Islam. Paradigma pertama ini tidak jauh berbeda dengan respon ketiga, yang ekstrim. Mereka menolak segala bentuk modernitas dari Barat. Sebagai akibatnya, kelompok ini menjadi terisolasi Islam dalam lintasan global dan bahkan menjadi bahan atau obyek permainan negara Barat.Sebagaimana negara-negara yang dibangun dengan semangat Islam fundamentalis sebagai negara-negara di Timur Tengah, Pakistan dan Afghanistan dalam perkembangan dinamika sosial-politik tidak menunjukkan prestasi yang dibanggakan. Negara-negara tersebut tetap menjadi negara yang terbelakang, meskipun memiliki sumber daya alam yang berlimpah, kondisi sosial dan ekonominya tidak mengalami kemajuan yang berarti. Ini berbeda dengan negara-negara Islam yang mengambil sikap moderat, negara-negara ini telah mencapai kemajuan di berbagai bidang. Malaysia, misalnya, kini menjadi negara Islam modern yang telah sukses membangun berbagai sektor keagamaan baik yang menyangkut ekonomi, teknologi, pendidikan dan lembaga-lembaga keuangan Islam. Demikian juga dengan Indonesia. Prestasi Malaysia dan Indonesia yang membanggakan itu, kini peta kekuatan Islam seolah telah mengalami pergeseran, semula di Timur Tengah beralih ke kawasan Asia Tenggara. Bukti ini juga diperkuat dengan dipercayai Malaysia sebagai pemimpin organisasi Islam yang bertaraf internasional itu. (hal 255-256).Jadi, tidak ada yang salah dengan para pendiri bangsa ini dan penerusnya dalam merumuskan dan menerapkan sistem bagi bangsa ini. Begitu juga tentang persekutuan itu, sepanjang bermaslahat bagi umat, bangsa dan negara tidak ada salahnya. Meminjam istilah Ruslan Abdulgani; ”jangan gebyah uyah”.Lalu apakah kita harus menyesali ’bersekutu” dengan AS lantaran negeri itu di kemudian hari ternyata menyerang negeri-negeri Islam. Fakta seperti itu tidak ada hubungannya dengan kerja sama yang dibangun Indonesia dengan AS maupun negara lainnya selama ini. Selanjutnya Umar menulis; ”Seperti kita ketahui, stabilitas politik dan sosial telah dapat diciptakan rejim militer Orde Baru, dengan menggunakan tangan besi atau berbagai praktek otoriter, di samping merangkul, membujuk, menyiasati sebagian terbesar golongan Islam. Ada yang mengatakan bahwa Orde Baru telah berhasil ”membeli” berbagai golongan Islam, dan menjadikan mereka sebagai pendukung berbagai politik rejim militer Soeharto, yang dalam jangka lama adalah pro-Barat dan mengabdi kepada kepentingan politik AS...dst”Lagi-lagi hujatan dan fitnah itu datang dari goresan tangan Tuan Umar. Sebagaimana Tuan Umar juga ketahui bahwa masyarakat Indonesia dalam visi Soeharto adalah masyarakat yang berdasar Pancasila, di mana warga negara Indonesia hidup selaras dan berdampingan tanpa mempedulikan perbedaan di antara mereka. “Orde Baru adalah orde Demokrasi Pancasila yang mengutamakan kepentingan rakyat dan bukan kepentingan golongan atau pribadi.” Dalam sebuah kesempatan Pak Harto mengatakan Orde Baru “mengejar institusional dan menolak individualisasi”. (hal. 57)Tuan Umar menyebut dalam kekuasaannya Soeharto menggunakan tangan besi. Bila yang Tuan maksud adalah terhadap kelompok ekstem kanan atau ekstrem kiri, Soeharto memang keras terhadap mereka. Jadi memang begitu adanya. Tuan mungkin juga telah mencatat bagaimana negara lain dalam menghadapi kelompok seperti itu. Lagi pula kebijakan tersebut juga dilakukan di awal-awal pemerintahan Orde Baru yang memang ”harus” diambil karena tuntutan keadaan. Sebagaimana Tuan tahu bahwa Orde Baru dikonsepsikan sebagai koreksi total atas pemerintahan Orde Lama yang lebih berpihak pada kalangan kiri (komunis) dan Presiden Soekarno tidak mampu mempertanggungjawabkan kepemimpinan berkait dengan sejumlah persoalan seperti terbunuhnya sejumlah perwira tinggi Angkatan Darat yang dikenal dengan G30S/PKI, kemudian runtuhnya ekonomi bangsa dengan inflasi yang sangat tinggi serta pendapatan per kapita di tahun 1966 yang hanya 120 dollar Amerika. Masa awal pemerintahan Orde Baru ini ditandai dengan integrasi yang kokoh antara umat Islam dengan militer serta kekuatan sosial lainnya ketika mereka menumpas pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI).Pilihan stratejik Orde Baru adalah pembangunan yang berorientasi kepada modernisasi dengan antara lain rekayasa politik melalui restrukturisasi partai-partai politik. Soeharto tidak menjadikan politik sebagai panglima, ia lebih menitik-beratkan pada pembangunan untuk kesejahteraan rakyat. Pelajaran berharga tentang demokrasi yang dikembangkan Presiden Soekarno dengan Orde Lama-nya adalah carut marutnya tatanan politik. Itu sebabnya, pada masa Orde Baru pengalaman buruk itu tak perlu diulangi. Terlepas Tuan setuju atau tidak. Tuan juga mungkin tahu bahwa sangat sulit memisahkan diri Soeharto dengan ideologinya yang anti-komunis dan menjunjung tinggi Pancasila. Saat menjadi prajurit ia terlibat langsung dalam memerangi pemberontakan Partai Komunis Indonesia pada 1948 dan menempatkan garda paling depan menumpas pemberontakan G- 30 S/PKI. Bahkan dari sinilah jasa Pak Harto sampai sekarang dikenang. Kisah tentang bagaimana Pak Harto menumpas PKI sudah banyak ditulis dan diceritakan dari mulut ke mulut oleh banyak orang dengan penuh kekaguman. Tuan mungkin tak suka dengan itu, tapi Tuan sebaiknya masuk ke pesantren-pesantren NU atau Muhammadiyah supaya Tuan tidak terkaget-kaget lagi bila ternyata nama Soeharto amat dipuja di sana.Selama kepemimpinannya, Soeharto tampak sangat curiga dengan gerakan kaum komunis. Peringatan akan bahaya komunis ini muncul dari waktu ke waktu. Soeharto tak bosan-bosannya mengingatkan bahaya laten komunis tersebut. “Bila kita mempelajari doktrin dan taktik-taktik PKI .. (kita akan menyadari) bahwa partai itu akan terus melancarkan gerakan-gerakan ilegalnya untuk berusaha muncul kembali,” kata Soeharto pada 11 Maret 1969. Pada akhir tahun itu juga dan awal 1970, Soeharto berbicara tentang perlunya untuk terus menindak sisa-sisa Gerakan 30 September yang masih ada di tengah-tengah masyarakat. Tujuan PKI pada 1965 sama dengan ketika pada 1948, kata Soeharto pada peringatan tahun kelima Supersemar pada 1971. Lalu beliau mengatakan, “Mengubah Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, untuk diganti dengan sistem yang lain.”Kini bahaya laten PKI masih disuarakan sejumlah tokoh masyarakat termasuk TNI, menyusul dibukanya kran bagi mereka untuk bergerak lebih leluasa. Bukannya tidak mungkin di kemudian hari apa yang dikhawatirkan Soeharto tentang bahaya laten komunis itu bakal terjadi. Jadi, Soeharto memang benci PKI terus menumpas gerakan mereka. Tuan Umar juga tentu tahu, bahwa gerakan itu didukung kuat umat Islam Indonesia. Selain kepada PKI, Soeharto juga sangat keras terhadap gerakan radikal Islam yang ingin menegakkan negara Islam di Indonesia. Tapi Tuan Umar mungkin juga harus bersikap jujur bahwa kebijakan Soeharto itu wajar adanya dan ”harus” dilakukan untuk membangun bangsa yang plural seperti Indonesia. Mungkin tepat bila kita mengaca pada kebijakan Gamal Abdul Naseer atau Anwar Sadat dalam menangani Ikhwanul Muslimin. Sadat yang lunak akhirnya tewas di ujung senapan pasukan khusus Al-Ikhwan. ”Pertanyaannya, apakah ada jaminan bahwa bila Soeharto membebaskan begitu saja kelompok ekstrem kanan untuk tumbuh dan berkembang tidak akan bernasib sama seperti Anwar Sadat?” Tuan Umar menyebut Soeharto membeli umat Islam dan dalam jangka lama untuk mengabdi pada AS, satu pernyataan yang bisa jadi gegabah dan fitnah. Saya tidak mau berkomentar tentang asumsi bernada menghujat tanpa dasar seperti itu. Begitu juga Tulisan Tuan Umar selanjutnya; asumsi-asumsi, praduga tanpa bukti, hujatan dan fitnah. Selanjutnya, Tuan Umar, tak ada seorang pun di dunia ini yang sempurna, termasuk Soeharto. Hanya saja, menafikkan jasa para pemimpin bangsa ini adalah sikap yang tidak ada tempatnya di bumi Indonesia. Boleh jadi kita sama-sama tidak sepakat terjadinya kekerasan dalam politik akan tetapi adalah suatu keniscayaan bahwa agama dan politik selalu diwarnai kekerasan bahkan teror. Secara konsepsional, doktrin Islam yang utama adalah penekanannya pada ajaran perdamaian. Kata Islam sendiri bermakna damai, aman, selamat dan penyerahan diri. Kendati demikian, dalam sejarahnya, konsepsi di atas tidak selalu seiring dengan perjalanan umat Islam. Pada awal-awal lahirnya Islam, tidak kurang dari enam kali peperangan diikuti oleh Nabi, kendati dengan tujuan untuk menegakkan keadilan ekonomi, kesetaraan manusia dan bertahan dari penyerangan. Demikian pula pada masa Abu Bakar, Umar bin Khattab, Ustman Bin Affan dan Ali bin Abi Thalib. Peperangan yang dilakukan oleh mereka umumnya bermotifkan ekonomi, seperti penumpasan terhadap kelompok pembangkang yang enggan membayar zakat di masa Abu Bakar; pelebaran wilayah Islam, seperti yang terjadi pada masa Umar bin Khattab; dan perebutan kekuasaan seperti yang terjadi pada Ustman dan Ali.Disebutkan dalam sejarah, sepeninggal Nabi Muhammad, tak kurang dari 70.000 orang Islam mati terbunuh dalam medan peperangan. Bahkan dua khalifah yang terakhir, yakni Usman dan Ali terbunuh secara mengenaskan dalam suatu peristiwa peperangan. Ahmad Amin menyebut peperangan besar dalam sejarah umat Islam ini sebagai fitnah kehidupan yang paling besar (al-fitnah al-Kubra).Berbagai bencana kekerasan berlangsung sepanjang kekuasaan dinasti Islam, yakni pada masa Dinasti Umayyah dan Dinasti Abbasiyah. Kekerasan pada masa ini tidak hanya dalam bentuk fisik, tetapi juga kekerasan intelektual yang diwujudkan dalam wujud pembunuhan terhadap beberapa pemikir yang dianggap dapat merugikan kekuasaan, seperti yang terjadi pada Ghaylan al-Dimasyqi dan Al-Ja’d bin Dirham yang berpandangan bahwa kekuasaan dalam masyarakat Islam bukanlah monopoli keturunan Arab (bangsa Quraisy) sebagaimana yang menjadi pandangan kelompok Sunni, atau dari keturunan Ali bin Abi Thalib sebagaimana yang menjadi garis politik Syiah, melainkan siapa saja dari umat Islam yang disetujui berdasarkan musyawarah (kesepakatan).Kekerasan pada aspek politik lebih mengerikan lagi. Pada masa Dinasti Umayyah, tepatnya dimasa Yazid bin Muawiyah, kepala Husain bin Ali dipenggal dari tubuhnya, dan kepala tersebut dibawa ke istana untuk dipermainkan. Seorang tua yang tahu masa kecil Husain dengan gusar berkata: “Saya pernah melihat wajah itu diciumi oleh Rasulullah”. Peristiwa ini disebut sebagai “tragedi Karbala”, sebuah momentum perpecahan antara kelompok Islam Sunni dan Syiah pada tahun 64 Hijriah.Demikian halnya pada masa Dinasti Abbasiyah. Akbar S Ahmed menggambarkan upaya kudeta militer Dinasti Abbasiyah terhadap Dinasti Umayyah sebagai berikut: “Sekali waktu Abdullah, seorang Jendral Abbasiyah mengundang 8 orang pemimpin Umayyah untuk makan malam pada musim panas bulan Juni tahun 750 M di rumahnya yang terletak di Jaffa. Ketika para tamu sedang makan, mereka ditangkap oleh para tentara. Setelah para tentara menikam semua pimpinan Umayyah tersebut, para pelayan menggelar tikar di atas tubuh mereka yang masih menggeliat-geliat dan para tamu lainnya melanjutkan makan malam sambil bersuka ria.” (Discovering of Islam).Menjelang keruntuhan kekuasaan Umayyah di Spanyol dan Abbasiyah yang terbentang dari wilayah Afrika dan seluruh jazirah Arab itu, tentara Kristen dari Eropa Barat menyerang dua dinasti Islam tersebut. Dengan misi perang suci untuk menaklukkan orang-orang “kafir”, umat Islam saat itu dihadapkan pada dua pilihan: beralih ke agama Kristen atau keluar dari wilayah kekuasaannya (migrasi). Perang ini kemudian diikuti oleh sebuah perang lain yang dalam sejarah dunia disebut perang salib, sebuah perang yang menghabiskan waktu tidak kurang dari seratus tahun dan menyisakan trauma pahit bagi Kristen dan Islam.Pada awal-awal abad 20-an, beberapa wilayah yang berbasiskan umat Islam pun terdesak oleh negara-negara kolonial dari Eropa. Misalnya, Indonesia oleh Belanda; Mesir, Maroko, Aljazair oleh Perancis, Malaysia, Nigeria oleh Inggris dan Libia oleh Italia. Dan panggung sejarah umat Islam yang sempat penuh gemerlap itu terbenam ke bawah dasar permukaan, bagai sebuah cerita yang ditutup secara tiba-tiba.Lalu bagaimana dengan terorisme? Syaikh Zaid bin Muhammad dalam kitabnya al-Irhab wa asaruhu ala al-afrad wa al-Umam menjelaskan bahwa sejarah terorisme dalam Islam telah berlangsung lama sejak masa awal Islam. Ia menyebut kasus-kasus pembunuhan khalifah Umar, Khalifah Ustman, khalifah Ali dan berbagai pemikiran Qodariyah dan Mu’tazilah merupakan tindakan yang dapat dikategorikan terorisme.Pada Abad XX, umat Islam dikejutkan serentetan teror yang melanda dunia Islam yaitu dimulai dengan terbunuhnya Abdul Aziz al-Faisal al-Su’ud ketika tengah melakukan tawaf ifadah di putaran keempat. Selain peristiwa pembunuhan, masih di tempat yang sama di Masjidil Haram pada tahun 1400 H, pada awal bulan Muharam tiba-tiba sekelompok orang yang dipimpin oleh Muhammad bin Abdul al-Qathami dengan juru bicara Juhaiman bin Salf al-‘Utaibi melakukan intimidasi dan teror mengajak umat Islam untuk membaiat al-Mahdi. Dari dua kasus tersebut, fenomena makin berkembangnya terorisme mempengaruhi diskursus politik Islam.Peristiwa lainnya adalah ketika dunia Islam dikejutkan dengan keganasan muslim fundamentalis membunuh Presiden Anwar Sadat dan Farag Faudah. Teror itu dilakukan oleh kaum fundamentalis yang tidak setuju atas kebijakan Anwar Sadat. Faktor utama pembunuhan terhadap Presiden Mesir ini lebih bermuatan politis dan mendapat legitimasi teologis yang mereka yakini.Selain itu juga terjadi teror yang dialami oleh umat Islam di berbagai belahan dunia. Ketika umat Islam dijajah, seperti di Palestina, umat Islam mendapat teror dari kaum Yahudi. Di Bosnia telah terjadi pembersihan etnis, di Kasmir umat Islam terus mendapat teror dan mendapat perlakuan kekerasan, di Thailand dan di sejumlah negara yang penduduknya terdiri minoritas Muslim seperti di Rusia dan Cina di mana-mana partai komunis masih berkuasa umat Islam mendapatkan teror.Setelah beratus-ratus tahun umat Islam menjadi sasaran gerakan teroris, muncul fenomena baru bahwa dunia luar membangun opini yang menuduh umat Islam sebagai dalang teroris. Opini ini didasarkan berbagai peristiwa seperti peledakan pesawat Okland, Peledakan kedubes AS di Nairobi, Kenya Darus Salam, Tanzania. Di Nairobi menewaskan 212 orang dan melukai 4000 di Darus Salam, menewaskan 11 orang dan melukai 72 orang lebih.Selanjutnya juga teror yang dilakukan Usamah bin Ladin dengan pernyataannya; “Tuhan telah memberkati satu kelompok prajurit Muslim, yang menjadi baris terdepan Islam, untuk menghancurkan Amerika Serikat.” Serta fatwanya, “Kami telah mengeluarkan fatwa untuk seluruh umat Muslim: Perintah untuk membunuh warga AS dan sekutunya –baik sipil atau militer—adalah kewajiban pribadi bagi tiap Muslim yang bisa melakukannya di negara mana saja yang memungkinkan... Kami –dengan pertolongan Tuhan—berseru kepada setiap Muslim yang percaya pada Tuhan dan mengharapkan pahala agar mematuhi perintah Tuhan untuk membunuh rakyat Amerika dan merampas uang mereka di mana dan kapan saja.”Dunia akhirnya mafhum bahwa gerakan Al-Qaidah pimpinan Usamah bin Ladin adalah gerakan yang dibangun di atas semangat Islam, pelakunya Muslim dan mempunyai jaringan dengan berbagai gerakan Islam lainnya, seperti gerakan Jihad Islam di Mesir, gerakan Islam Uzbekistan dan memiliki hubungan dengan Jamaah Islamiyah di ASEAN.Pertanyaan kita selanjutnya, bila itu terjadi di Indonesia, apa yang ditempuh pemerintah yang berkuasa; menghidupkan atau membasmi gerakan seperti itu? Tuan mungkin tidak tahu, bahwa kini telah terjadi krisis moral dan etika begitu bangsa ini memasuki masa reformasi. Dan Tuan tentu sudah tahu bahwa kekerasan atas nama agama mulai merambah negeri kita. Apakah Tuan ingin pula menyalahkan Soeharto yang di masanya hal seperti itu tidak terjadi? Apakah Tuan juga ingin mengatakan itu adalah buah kebijakan Soeharto di masa lalu? Jakarta, 27 Juni 2007

HM SOEHARTO MEMBANGUN CITRA ISLAM

Peluncuran buku “HM Soeharto, Membangun Citra Islam” karya Miftah H. Yusufpati pada 7 Juni 2007 di Wisma Antara Lt. 2 Jakarta meninggalkan catatan penting. Selain memperingati hari ulang tahun Soeharto ke-86, pada malam itu juga dilakukan dialog (bedah buku) yang menghadirkan Dr. dr. Tarmizi Taher (Ketua Umum Dewan Masjid Indonesia), Sulastomo (Ketua Yayasan Amal Bhakti Muslim Pancasila), Dja’far Assegaf (wartawan dan diplomat) dan Prof. Zainuddin Taha (Rektor Universitas Islam Makassar). Penulis mengeleluarkan sinyalemen kemungkinan ada kudeta oleh ICMI.Tidak seperti buku-buku yang sudah terbit sebelumnya —yang lebih banyak bertabur puja-puji terhadap Soeharto—buku ini lebih banyak meninjau dari aspek kesejarahan pergerakan Islam (politik) di Indonesia serta keterlibatan Soeharto. Miftah dalam pidatonya melempar satu pernyatan cukup berani; mungkinkah Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI) telah merancang satu skenario jauh-jauh hari untuk melengserkan Soeharto? “Ini butuh pembuktian sehingga perlu diteliti lebih dalam,” ujar Miftah.Dia tidak sendirian. Prof. Zainuddin Taha juga mempunyai spekulasi yang sama menyangkut masalah ini. “Persoalannya, Pak Harto lengser, ketika sangat dekat dengan Islam dan umat Islam. Kabinet dalam kondisi dipenuhi oleh tokoh ICMI. Tugas para sejarahwan untuk meneliti itu,” kata Rektor Universitas Islam Makasssar ini. Miftah mengatakan Soekarno jatuh tatkala bandul politik diarahkan ke kiri (komunis-red) akan tetapi Pak Harto jatuh, tatkala bandul politik diarahkan agak ke kanan. “Pada saat berkuasa Banyak kalangan menuduh Pak Harto melakukan kudeta terhadap Bung Karno. Wajar saja bila kita juga curiga Pak Habibie melakukan kudeta. Ini yang harus diteliti lebih jauh.” Dia juga mencurigai peristiwa penembakan Trisakti, dilakukannya pembiaran terhadap kerusuhan di Jakarta, pendudukan mahasiswa di gedung DPR/MPR, lalu pernyataan Ketua MPR H. Harmoko agar Pak Harto lengser serta mundurnya menteri-menteri yang sebagian besar dari ICMI, sebagai sesuatu yang direncanakan. “Saya menuntut kejujuran para pelaku dan penulis sejarah,” katanya lagi.Miftah adalah seorang wartawan ekonomi dan sempat bergabung di Harian Ekonomi Neraca selama 15 tahun. Pada 2003 ia memimpin sebuah majalah politik, Majalah DewanRakyat dan pada 2005 menjadi Wakil Pemimpin Redaksi Harian Proaksi. Setelah media yang diikutinya tutup, kini ia lebih memilih untuk menjadi konsultan media dan menulis buku. Ia tengah menyelesaikan satu buku lagi; Soehartois dan Soekarnois. “Doakan bisa segera selesai,” katanya sembari menambahkan bahwa karya itu diharapkan bisa memberikan penghargaan kepada para pemimpin besar bangsa ini.Kendati wartawan ekonomi dan politik, Miftah adalah sarjana dakwah pada Sekolah Tinggi Dakwah dan Publistik Jakarta, sehingga cukup kridible untuk menulis tentang Islam.Editor buku ini, Theo Yusuf dalam pengantarnya menyebut penulis lahir 42 tahun lalu dan sejak mulai melek huruf awalnya hanya mengenal satu presiden yakni Soeharto. Ketika meniti karir di jurnalistik presidennya masih Soeharto. Pada saat itu Miftah adalah wartawan ekonomi yang cukup idealis dan “berani”. Tulisannya tajam dan antimonopoli serta pro ekonomi kerakyatan. Oleh teman-temannya dia berjuluk “terlalu idealis”. Karena saat itu yang berkuasa adalah Orde Baru, maka tentu saja dia banyak “menyinggung” penguasa.Ini perlu diungkap, menurut Theo, untuk memberi gambaran bahwa buku ini ditulis oleh orang yang tidak ada kaitannya dengan Orde Baru, apalagi keluarga besar Cendana. Sikap politik Miftah, menurut Theo, sangat dipengaruhi oleh Muhammadiyah dan Dewan Dakwah Islamiyah (DDI) yang tentu saja juga dipengaruhi budaya Jawa yang mikul nduwur mendem jero. Kini Miftah menjabat sebagai Ketua Hukum dan HAM Muhammadiyah Jakarta Timur. Dan gugatan sejarah oleh Miftah ini sesusungguhnya bisa menjadi diskusi yang menarik. Sayang, saat bedah buku tersebut, masalah ini tidak disinggung. Mungkin; yang lalu, biarlah berlalu.Terlepas dari pada itu, Nur Hakim Kandow panitia serta salah satu eksekutif AsiaMark, penerbit buku ini menyatakan gugatan Miftah wajar adanya dan tidak ada tendensi untuk membela seseorang akan tetapi menghendaki agar sejarah ditulis secara benar..Buku ini, menurut Nur Hakim yang juga Ketua Umum DPP Mahasiswa Pancasila, lebih banyak bicara tentang sosok Soeharto yang Islamis dan pluralis. "Di zaman Pak Harto yang namanya toleransi beragama begitu kental. Kini toleransi agama sudah menjadi barang mahal," kata Nur Hakim yang menyebut buku ini layak dibaca generasi muda.Anggota DPR-RI, Irsyad Sudiro juga menyatakan agar ada keseimbangan dan pelurusan sejarah maka buku ini layak disebarluaskan. "Pak Harto memang ada kelemahan dan kekurangan. Akan tetapi sangat banyak yang bisa dilanjutkan dari program-program Pak Harto dan Orde Baru untuk membangun bangsa ini ke depan," katanya.Irsyad yang saat Pak Harto lengser sebagai Ketua Fraksi Golkar menjelaskan kudeta itu sebenarnya tidak ada. "Justru ketika itu kita berusaha bagaimana agar Pak Harto turun dengan khusnul khotimah, menyusul begitu kuatnya desakan agar beliau mundur," katanya, kepada Koran Kabinet.KH. Dr. dr. Tarmizi Taher dalam dialog publik menyatakan sejarah harus ditulis sebagaimana yang terjadi. Buku ini mencoba menceritakan apa yang sudah terjadi. "Tak bisa dipungkiri bahwa jasa Pak Harto sangat besar terhadap Islam," katanya. "Beliau membangun toleransi beragama sehingga NKRI tetap utuh sampai sekarang," lanjut mantan Menteri Agama zaman Orde Baru ini.Zaenal Abdin, dari Korp Alumni Mahasiswa Islam Indonesia (KAHMI), menganggap HM Soeharto baru melakukan pemihakan kepada Islam pada tahun 90-an dan sebelumnya sangat memusuhi Islam. Akan tetapi Sulastomo, menyangkal hal ini. "Komitmen Pak Harto dengan Islam tak pernah berubah, sejak dulu," kata Ketua Yayasan Amal Bhakti Muslim Pancasila ini.Membicangkan HM Soeharto ternyata mengasyikkan justru ketika penguasa Orde Baru ini sudah uzur di tengah badai yang melanda keluarga besar cendana. Begitulah. (hs)